Bahagia Bukan Karena Keinginan: Mengalir dalam Kehendak Sejati


 

Bahagia bukan soal terpenuhinya keinginan, melainkan soal melepaskannya. Dari hati yang cukup, kehendak sejati mengalir tanpa paksaan. Artikel ini mengulas perbedaan desire dan will, serta teladan tokoh dunia yang hidup selaras dengan arus Ilahi

Apakah kebahagiaan datang dari tercapainya keinginan? Pertanyaan ini sederhana, tetapi jawaban yang muncul sering kali penuh paradoks. Banyak orang berpikir bahwa semakin banyak keinginan terpenuhi, semakin bahagia hidupnya. Namun kenyataannya, begitu satu keinginan tercapai, muncul lagi keinginan baru. Dan ketika keinginan itu tidak tercapai, muncullah kekecewaan, bahkan penderitaan. Maka hidup pun seolah berputar dalam roda tanpa ujung: mengejar, mendapatkan, merasa lega sebentar, lalu mengejar lagi.

Pengajian Tiga Fakir mengajak kita untuk melihat persoalan ini dari sudut pandang yang lebih dalam. Mereka membedakan antara keinginan (desire) dan kehendak (will/iradah). Keinginan lahir dari rasa kurang—dari shortage yang terus mendorong kita untuk menambal kekosongan. Sedangkan kehendak lahir dari rasa cukup—dari hati yang sudah berlimpah dan penuh syukur. Inilah yang membedakan antara hidup yang penuh paksaan dengan hidup yang mengalir secara effortless.

Menariknya, gagasan ini tidak hanya ditemukan dalam Islam atau tasawuf, melainkan juga bergema dalam tradisi lain—dari ajaran Buddha tentang pelepasan tanha, Bhagavad Gita tentang nishkama karma, hingga doa Yesus di Getsemani: “Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.” Bahkan sains modern melalui psikologi positif dan teori flow menemukan hal serupa: kebahagiaan otentik hadir bukan dari ambisi duniawi, tetapi dari keselarasan batin.

Artikel ini akan menelusuri lebih jauh perbedaan antara keinginan dan kehendak, bagaimana keduanya memengaruhi kebahagiaan, serta contoh nyata dari tokoh-tokoh besar yang hidupnya menjadi bukti nyata.

Keinginan – Siklus Kekurangan dan Penderitaan

Keinginan adalah bagian yang sangat manusiawi. Setiap orang memiliki daftar panjang hal-hal yang ingin dicapai: karier yang lebih mapan, harta yang lebih banyak, pasangan yang ideal, pengakuan dari orang lain, bahkan status sosial yang tinggi. Namun jika kita menelisik lebih dalam, akar dari setiap keinginan adalah rasa kurang. Kita merasa ada sesuatu yang hilang atau tidak cukup, maka muncullah dorongan untuk mengejar dan menutup kekosongan itu.

Masalahnya, keinginan jarang sekali berakhir. Ketika satu hal tercapai, muncul lagi keinginan baru. Pencapaian hanya memberi rasa lega sesaat, semacam “napas pendek” kebahagiaan yang segera hilang. Kita menginginkan gaji lebih besar; ketika mendapatkannya, kita ingin jabatan. Saat jabatan tercapai, kita ingin pengaruh yang lebih luas. Lingkaran ini seperti roda yang terus berputar tanpa henti.

Sebaliknya, ketika keinginan tidak terpenuhi, lahirlah penderitaan. Kekecewaan, frustrasi, bahkan rasa putus asa sering muncul. Pikiran dipenuhi penyesalan, hati dipenuhi rasa iri pada orang lain yang lebih berhasil. Inilah yang membuat keinginan menjadi jebakan: ia menjanjikan kebahagiaan, tetapi pada akhirnya sering mengantar pada penderitaan.

Dalam tradisi spiritual, keinginan sering dikaitkan dengan nafsu yang menjerat jiwa. Al-Qur’an menyebutkan bahwa setan menanamkan keinginan (umniyyah) untuk menyesatkan manusia, sehingga puncak dari keinginan adalah kekecewaan. Buddhisme pun menyebut tanha atau craving sebagai akar penderitaan (Dukkha). Selama manusia dikendalikan keinginan, ia akan terus berada dalam lingkaran samsara: lahir, mati, dan menderita berulang kali.

Ilmu modern pun sampai pada kesimpulan yang sama. Psikologi menyebut fenomena ini hedonic treadmill—sebuah kondisi di mana manusia cepat beradaptasi dengan pencapaian baru. Setelah satu target tercapai, standar kebahagiaan naik lagi, sehingga orang terus berlari tanpa pernah merasa cukup. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang mendapatkan kenaikan gaji, promosi, atau materi tambahan hanya merasa bahagia sebentar, lalu kembali ke titik normal.

Keinginan, pada akhirnya, adalah energi yang melelahkan. Ia menuntun kita untuk terus membandingkan diri, mengejar sesuatu di luar diri, dan melupakan rasa syukur atas apa yang sudah ada. Inilah mengapa banyak orang modern merasa hidupnya penuh pencapaian, tetapi hatinya kosong. Mereka sibuk mengisi daftar keinginan, tanpa sadar sedang memupuk penderitaan.

Kehendak – Abundance, Flow, dan Kebahagiaan Sejati

Berbeda dengan keinginan yang lahir dari rasa kurang, kehendak sejati justru muncul dari hati yang merasa cukup. Seseorang yang berada dalam kondisi ini tidak lagi memandang hidup dari kacamata “apa yang belum saya miliki,” melainkan dari kesadaran bahwa apa pun yang hadir sudah tergenapi. Dari rasa penuh inilah lahir energi kelimpahan—abundance—yang membuat hidup terasa mengalir tanpa paksaan.

Kehendak tidak sama dengan ambisi. Ambisi lahir dari ego yang ingin membuktikan diri, sedangkan kehendak adalah dorongan alami yang muncul ketika kita selaras dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita. Kehendak seolah mengalir dari dalam, memberi arah tanpa harus dipaksakan. Saat kita bergerak dalam kehendak, jalan yang ditempuh terasa ringan, tanda-tanda seolah bermunculan di sepanjang jalan, dan keputusan yang diambil tidak menimbulkan keraguan.

Doa dalam kondisi kehendak juga berbeda. Jika keinginan membuat doa penuh dengan permintaan—“Ya Tuhan, beri aku ini, beri aku itu”—maka kehendak membuat doa berubah menjadi syukur. Doa syukur ini tidak bergantung pada kondisi, tetapi hadir sebagai kesadaran bahwa kasih Tuhan sudah cukup memenuhi segalanya. Dari sini, apa pun yang mengalir dalam hidup terasa sebagai anugerah, bukan sekadar hasil jerih payah manusia.

Tradisi spiritual besar menegaskan hal yang sama. Dalam Islam, kehendak Allah dinyatakan melalui kalimat sederhana Kun Fayakun—jadilah, maka jadilah ia. Hadis Qudsi bahkan menyebutkan bahwa ketika seorang hamba dicintai Allah, pendengaran, penglihatan, dan tangannya menjadi saluran bagi kehendak-Nya. Dalam Bhagavad Gita, hal ini disebut nishkama karma—bertindak tanpa keterikatan pada hasil. Bahkan Yesus di Getsemani menunjukkan pasrah total: “Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.”

Ilmu modern juga menemukan sisi praktis dari kondisi ini. Psikologi positif membuktikan bahwa syukur meningkatkan kesehatan mental dan fisik. Sementara teori flow dari Mihaly Csikszentmihalyi menunjukkan bahwa manusia paling bahagia saat masuk ke kondisi mengalir: bekerja keras, tetapi tanpa beban, seolah ada kekuatan yang lebih besar menggerakkan dari belakang.

Inilah perbedaan mendasar: keinginan menjerat dalam kekurangan, sedangkan kehendak membuka ruang kelimpahan. Orang yang hidup dalam kehendak mungkin tidak memiliki segalanya, tetapi ia merasa cukup. Dari rasa cukup itu lahirlah kebahagiaan yang otentik—bahagia bukan karena mendapatkan sesuatu, melainkan karena menyadari bahwa ia sudah lengkap.

Pasrah ≠ Malas – Belajar dari Wayang dan Dalang

Salah satu kesalahpahaman yang sering muncul adalah menganggap pasrah sama dengan malas. Padahal, keduanya sangat berbeda. Orang malas memilih untuk tidak berbuat apa-apa karena enggan atau enggak peduli, sedangkan orang yang pasrah justru tetap bergerak, tetapi dengan kesadaran bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang menggerakkan dirinya.

Analogi yang indah untuk memahami hal ini adalah wayang dan dalang. Wayang bisa bergerak, bicara, bahkan bertarung di panggung. Namun, kita tahu bahwa bukan wayang yang melakukannya. Dalanglah yang menggerakkan, memberi suara, dan menghidupkan lakon. Wayang tidak malas, ia tetap menari dan berperan, tetapi seluruh geraknya berasal dari dalang. Begitulah manusia: kita bisa berusaha, bekerja, dan berkarya, tetapi pada akhirnya yang menggerakkan adalah Sang Dalang kehidupan.

Dengan kesadaran ini, pasrah bukan berarti berhenti bekerja. Pasrah adalah bekerja tanpa beban ego. Orang yang pasrah justru lebih produktif, karena ia tidak menghambur-hamburkan energi untuk ambisi pribadi. Ia fokus pada hal yang esensial—apa yang selaras dengan kehendak. Semua yang remeh-temeh seakan “diurus” oleh semesta. Hasilnya, ia bisa bekerja lebih jernih, lebih ikhlas, dan lebih efektif.

Contoh sikap pasrah yang bukan malas bisa kita lihat pada banyak tokoh spiritual dan sejarah. Yesus di Getsemani berkata, “Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mu yang jadi,” tetapi setelah itu ia tetap berjalan ke kayu salib. Arjuna dalam Bhagavad Gita, setelah bimbang, akhirnya bertempur bukan demi ego, melainkan karena ia menyadari dirinya hanyalah instrumen. Bahkan dalam Islam, hadis Qudsi menyebutkan bahwa Allah bisa menjadi tangan seorang hamba yang dicintai—artinya, hamba itu tetap bergerak, tapi bukan dengan kekuatannya sendiri.

Psikologi modern pun menemukan kondisi serupa dalam teori flow. Orang yang mengalami flow bekerja dengan intensitas tinggi, tetapi tidak merasa terbebani. Ia merasa seolah sedang “dibawa” oleh sesuatu yang lebih besar. Itulah pasrah dalam arti yang sejati: tetap berbuat, tetapi sadar bahwa bukan kita yang paling berkuasa.

Pasrah adalah jalan tengah: tidak pasif, tidak pula memaksakan. Ia adalah seni menari bersama Sang Dalang.

Metafisika Kehendak dan Hukum Semesta

Untuk memahami lebih dalam perbedaan antara keinginan dan kehendak, kita perlu meninjau bagaimana manusia dipandang dalam lapisan kesadarannya. Spiritualitas klasik sering membagi diri manusia ke dalam beberapa tingkat. Ada lapisan fisik, emosional, mental, lalu lapisan terdalam yang bersatu dengan sumber Ilahi. Dari lapisan terdalam inilah kehendak sejati mengalir.

Keinginan biasanya lahir dari lapisan luar—tubuh fisik yang butuh kenyamanan, atau ego yang mencari pengakuan. Karena berangkat dari rasa kurang, keinginan itu mudah sekali berbenturan dengan realitas. Tidak jarang, ia menabrak hukum semesta. Misalnya, seseorang yang memaksakan kehendaknya untuk kaya dengan cara licik, pada akhirnya justru menuai kehancuran. Keinginan semacam ini bertentangan dengan hukum keteraturan yang sudah tertanam dalam jagat raya.

Berbeda halnya dengan kehendak. Kehendak bukan sekadar produk ego, melainkan pancaran dari sumber. Dalam tradisi Islam, ini dikenal dengan ungkapan Kun Fayakun—“Jadilah, maka jadilah ia.” Kehendak Tuhan sudah “jadi” di ranah metafisik, lalu dimanifestasikan dalam ruang dan waktu melalui manusia yang dipilih sebagai instrumen. Karena itu, kehendak sejati tidak pernah melawan hukum semesta, justru sejalan dengannya.

Dalam bahasa modern, kita bisa melihat kehendak sebagai selaras dengan “flow of the universe.” Steve Jobs pernah berkata bahwa hidup hanya bisa dipahami dengan connecting the dots ke belakang. Titik-titik peristiwa terasa acak saat dijalani, tetapi ketika dilihat mundur, tampak ada pola keterhubungan. Itulah tanda bahwa apa yang dijalani sebenarnya selaras dengan hukum semesta.

Di sisi lain, sains spiritual menyebut bahwa semesta ini tunduk pada hukum-hukum universal: hukum sebab-akibat, hukum tarik-menarik, hukum keseimbangan. Jika keinginan lahir dari ego dan bertentangan dengan hukum-hukum ini, jalannya terasa berat. Sebaliknya, jika yang kita jalani adalah kehendak sejati, semesta seolah memberi dukungan. Halangan tetap ada, tetapi halangan itu tidak melemahkan, melainkan menjadi petunjuk ke arah yang benar.

Inilah mengapa orang yang hidup dalam kehendak tidak merasa sedang memaksa dunia, melainkan sedang menari bersama arus kosmos. Bukan berarti jalan hidup selalu mudah, tetapi ada rasa ringan, ada keyakinan bahwa setiap langkah selaras dengan tatanan yang lebih besar.

Kebahagiaan Sejati – Melepaskan Desire

Kebahagiaan sejati sering kali justru hadir ketika kita berhenti mengejar. Paradoks ini sulit diterima oleh banyak orang, sebab hampir semua sistem hidup modern dibangun di atas logika keinginan: bekerja lebih keras untuk mendapatkan lebih banyak, agar bisa bahagia. Namun semakin dalam kita mengejarnya, semakin jauh bahagia itu terasa.

Mengapa demikian? Karena keinginan adalah lubang tanpa dasar. Ia berangkat dari rasa kurang, dan setiap kali terpenuhi, ia hanya membuka ruang kosong baru. Seseorang yang ingin kaya akan terus ingin lebih kaya. Yang ingin terkenal akan terus ingin lebih terkenal. Keinginan tidak mengenal kata cukup. Akibatnya, kebahagiaan yang dijanjikan olehnya selalu bersifat sementara, seperti fatamorgana di padang pasir.

Sebaliknya, kebahagiaan sejati muncul ketika desire dilepaskan. Saat seseorang berhenti mengaitkan bahagia dengan tercapainya sesuatu, ia menemukan bahwa dirinya sebenarnya sudah lengkap. Tidak ada lagi alasan untuk menunda bahagia. Dari rasa cukup inilah mengalir kedamaian, syukur, dan energi yang stabil.

Banyak tokoh besar spiritual menekankan hal ini. Rumi berkata, “When I let go of what I am, I become what I might be.” Ia menunjukkan bahwa pelepasan justru membuka ruang bagi potensi yang lebih tinggi. Buddhisme pun menegaskan bahwa akar penderitaan adalah tanha atau keinginan, dan jalan menuju Nirvana adalah melepaskan keterikatan itu. Viktor Frankl, seorang penyintas kamp konsentrasi Nazi, menemukan bahwa kebahagiaan bukanlah hasil dari pemenuhan keinginan, melainkan dari menemukan makna, bahkan dalam penderitaan.

Psikologi modern menguatkan pandangan ini. Studi tentang syukur menunjukkan bahwa orang yang berlatih mensyukuri apa yang ada cenderung lebih bahagia, lebih sehat, dan lebih tenang. Mereka tidak menunggu sesuatu tercapai untuk bersyukur, tetapi bersyukur dahulu sehingga kebahagiaan hadir.

Melepaskan desire bukan berarti berhenti bermimpi atau kehilangan arah. Justru sebaliknya, kita tetap bisa punya tujuan, tetapi tidak menggantungkan kebahagiaan padanya. Kita berjalan dengan ringan, sebab kebahagiaan bukan di ujung jalan, melainkan di setiap langkah yang penuh kesadaran.

Inilah kebebasan sejati: saat kita tidak lagi diperbudak oleh keinginan, hati menjadi lapang, dan kebahagiaan hadir sebagai keadaan batin yang stabil.

Tokoh Modern sebagai Suri Tauladan

Gagasan tentang melepaskan desire dan hidup selaras dengan kehendak bukan sekadar teori abstrak. Banyak tokoh modern telah membuktikan bahwa sikap ini dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata, bahkan melahirkan dampak besar bagi dunia. Mereka menjalani hidup bukan demi ambisi pribadi, melainkan karena merasa terpanggil oleh sesuatu yang lebih tinggi. Dari sinilah lahir ketenangan batin sekaligus karya besar yang menginspirasi.

Mahatma Gandhi adalah salah satu contoh nyata. Alih-alih mengejar kekuasaan, ia memilih hidup sederhana dengan kain putih dan roda pemintal. Dengan prinsip ahimsa (tanpa kekerasan), Gandhi menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan berasal dari ambisi, melainkan dari keselarasan dengan kebenaran moral. Gerakannya yang tenang justru mengguncang imperium Inggris dan menginspirasi dunia.

Nelson Mandela mengajarkan pelajaran serupa. Setelah 27 tahun dipenjara, ia bisa saja keluar dengan dendam. Namun Mandela memilih memaafkan. Keputusannya untuk mengedepankan rekonsiliasi, bukan balas dendam, menunjukkan bahwa ia tidak lagi digerakkan oleh desire pribadi. Ia menjalani kehendak yang lebih besar: persatuan bangsanya. Dari pasrah inilah lahir kekuatan moral yang dihormati dunia.

Mother Teresa juga layak dijadikan teladan. Hidupnya diabdikan untuk merawat orang miskin dan sakit di Kolkata. Ia tidak mencari kekayaan atau pengakuan, tetapi terus melayani dengan hati yang penuh kasih. Justru karena sikap pasrahnya, ia dikenang sebagai simbol cinta tanpa syarat.

Dalai Lama XIV adalah contoh lain. Hidup dalam pengasingan sejak 1959, ia tidak terjebak pada keinginan merebut kembali tanah Tibet dengan kekerasan. Sebaliknya, ia memilih jalan welas asih dan perdamaian. Bagi Dalai Lama, kebahagiaan bukan soal kemenangan politik, melainkan tentang menyebarkan compassion.

Dari dunia Barat, Martin Luther King Jr. memperlihatkan bagaimana sebuah visi besar bisa lahir dari kehendak, bukan ambisi. Dalam pidatonya “I Have a Dream,” ia tidak berbicara untuk kepentingan dirinya, melainkan untuk cita-cita kolektif tentang kesetaraan. Ia tahu risikonya besar, bahkan mengorbankan nyawanya, tetapi langkahnya selaras dengan kehendak yang lebih tinggi.

Tidak kalah menarik, Viktor Frankl memberikan contoh dari ranah psikologi. Ia bertahan dari kamp konsentrasi Nazi dengan menemukan makna, bukan dengan berpegang pada keinginan yang mustahil. Dari pengalaman itu, ia menulis Man’s Search for Meaning, yang hingga kini menginspirasi banyak orang untuk menemukan kebahagiaan melalui makna hidup, bukan ambisi kosong.

Bahkan di dunia teknologi, Steve Jobs menunjukkan pola serupa. Ia sering mengambil keputusan berdasarkan intuisi dan keyakinan batin, bukan semata kalkulasi keuntungan. Filosofi connecting the dots menunjukkan bahwa ia percaya hidup mengalir dengan pola yang baru tampak jelas di kemudian hari.

Mereka semua adalah bukti nyata bahwa ketika manusia melepaskan desire ego dan membuka diri pada kehendak yang lebih besar, hidupnya menjadi ringan, penuh makna, dan berdampak luas. Kebahagiaan bukan lagi tujuan yang dikejar, melainkan keadaan batin yang hadir dalam perjalanan itu sendiri.

Pertanyaan Reflektif untuk Open Learner

Perbedaan antara keinginan dan kehendak bukan sekadar wacana, tetapi tantangan hidup yang nyata. Untuk membantu pembaca merenung lebih dalam, beberapa pertanyaan reflektif berikut bisa menjadi bahan diskusi bersama di Open Learner:

  1. Bagaimana kita membedakan antara keinginan ego dan kehendak yang lebih tinggi? Apakah tandanya terletak pada rasa berat dan paksaan, atau pada rasa ringan dan mengalir?

  2. Apakah mungkin keinginan menjadi jembatan menuju kehendak? Misalnya, dengan mengejar sesuatu lalu menyadari bahwa kebahagiaan tidak terletak di sana.

  3. Bagaimana melatih hati agar stabil dalam rasa cukup? Apakah dengan syukur, meditasi, doa, atau praktik sehari-hari lain?

  4. Apa pengalaman pribadi kita ketika sesuatu berjalan effortless, seakan semesta mendukung? Apakah itu tanda bahwa kita sedang selaras dengan kehendak?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk mencari jawaban instan, melainkan untuk mengundang perenungan. Sebab kebahagiaan sejati sering kali lahir bukan dari jawaban cepat, melainkan dari keberanian untuk terus bertanya.

Penutup

Hidup sering kali terasa seperti perlombaan tanpa garis akhir. Kita mengejar keinginan demi keinginan, berharap di ujungnya ada kebahagiaan. Namun yang kita temukan justru rasa lelah, kecewa, dan haus yang tidak pernah padam. Inilah paradoks keinginan: ia menjanjikan bahagia, tetapi justru menjerat dalam penderitaan.

Berbeda halnya dengan kehendak sejati. Kehendak lahir dari hati yang merasa cukup, dari kesadaran bahwa kita sudah lengkap dalam kasih Ilahi. Dari titik inilah hidup mulai mengalir—effortless, ringan, dan penuh makna. Keputusan tidak lagi digerakkan oleh ego, melainkan oleh arus yang lebih besar. Kebahagiaan pun hadir bukan sebagai akibat, melainkan sebagai syarat: ketika hati cukup, ketika kita bersyukur, ketika kita berpasrah.

Para tokoh besar dunia, dari Gandhi hingga Mandela, dari Mother Teresa hingga Viktor Frankl, telah membuktikan bahwa hidup dalam kehendak menghasilkan kebahagiaan yang kokoh sekaligus dampak besar bagi sesama. Mereka tidak menunggu syarat luar untuk bahagia; mereka bahagia dulu, lalu dari kebahagiaan itu mengalir kekuatan.

Maka, pelajaran yang bisa kita ambil adalah sederhana sekaligus mendalam: lepaskan desire yang menjerat, dan biarkan kehendak yang lebih tinggi bekerja melalui kita. Dengan begitu, setiap langkah menjadi bagian dari tarian bersama semesta, dan kebahagiaan sejati hadir sebagai teman perjalanan.


Comments

Popular posts from this blog

Mengenal Surga dan Neraka dalam Diri Sendiri: Sebuah Perjalanan Spiritual

Manusia Bukan Hanya Tubuh: Menyelami Unsur Jiwa, Ruh, dan Kesadaran Ilahi