Bersedia: Saat Kehendak Kita Tak Lagi Berdiri di Depan Kehendak-Nya
Sering kali kita merasa harus terus berusaha, berharap, dan berdoa keras agar Tuhan mengikuti rencana kita. Tapi bagaimana jika yang perlu kita lakukan bukan menginginkan lebih banyak, melainkan... bersedia lebih dalam?
Dalam tulisan ini, kita menyelami makna terdalam dari “Surrender Our Will to the Will of God.”Bukan sekadar pasrah atau menyerah, tapi sebuah perjalanan menuju titik tengah:
Saat hati tidak lagi menuntut, namun juga tidak menolak. Saat kehendak kita larut dalam kehendak-Nya.
Sering kali kita merasa harus terus berusaha, berharap, dan berdoa keras agar Tuhan mengikuti rencana kita. Tapi bagaimana jika yang perlu kita lakukan bukan menginginkan lebih banyak, melainkan... bersedia lebih dalam?
Dalam hidup, sering kali kita merasa perlu mengendalikan segalanya—jalan cerita, rencana masa depan, bahkan tak jarang… kehendak Tuhan. Kita menyusun strategi, berdoa dengan penuh harap, dan merasa bahwa semua harus berjalan sesuai keinginan. Namun, di satu titik yang sunyi, muncul tanya lirih:
"Apakah kehendakku memang murni... atau justru ego yang menyamar sebagai niat baik?"
Pagi itu, sebuah ngaji yang sederhana namun dalam membawa pertanyaan ini mengendap dalam kesadaran. Temanya singkat namun mengguncang: “Surrender Our Will to the Will of God.”
Bukan sekadar ajakan pasrah, tapi sebuah undangan untuk menyelami ulang siapa sebenarnya yang sedang menginginkan.
Di sinilah refleksi dimulai. Bahwa mungkin, bukan tentang memaksa takdir tunduk pada rencana kita, tetapi tentang bagaimana hati belajar bersedia menerima arah-Nya, bahkan ketika tidak sesuai kehendak awal. Mungkin, yang dimaksud “surrender” bukan menyerah karena kalah, tetapi rela melepaskan kendali semu demi terhubung dengan kehendak yang lebih besar.
Tulisan ini bukan sekadar rangkuman, melainkan perjalanan memahami makna pasrah yang sebenarnya—melewati paradoks kehendak, menyentuh hukum spiritual, dan menemukan kembali Al-Qur’an bukan hanya sebagai teks, tapi sebagai jalan hidup.
Paradoks Kehendak – Antara Ingin dan Dikehendaki
Setiap manusia ingin berjalan di jalan yang lurus, mendapatkan petunjuk, dan hidup dalam keberkahan. Namun, dalam pencarian itu, sering muncul kebingungan yang tak mudah dijawab:
“Apakah aku yang menginginkan petunjuk, ataukah Allah yang menghendaki aku mendapatkannya?”
Pertanyaan ini bukan sekadar teologis. Ia mengetuk ruang terdalam dalam jiwa, membongkar ego yang selama ini tersembunyi di balik niat-niat baik. Kita berdoa, berharap, berusaha—namun tak jarang lupa bahwa semua gerak itu sendiri bergantung pada izin-Nya.
Al-Qur’an secara terang menyebut bahwa Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Tapi di saat yang sama, kita juga diperintahkan untuk berusaha, bertakwa, mencari ilmu, dan terus menyucikan hati. Maka, muncul paradoks:
Jika semua kehendak ada di tangan-Nya, apa gunanya kita berkehendak? Tapi jika kita tak berkehendak, bagaimana mungkin kita bertumbuh?
Lebih dalam lagi, bahkan kalimat seperti “aku tidak ingin apa-apa” pun bisa menjadi bentuk kehendak terselubung. Ego spiritual—yang diam-diam merasa sudah bebas dari ingin—justru sedang mengendalikan dalam diam. Maka jelas, persoalannya bukan sekadar punya atau tidak punya kehendak, melainkan apa posisi kita terhadap kehendak itu.
Di sinilah jalan spiritual menawarkan kearifan yang tak ditemukan dalam logika biasa:
Bahwa bukan soal membuang kehendak, tapi menemukan titik keseimbangan—sebuah ruang batin yang tidak dikuasai oleh keinginan, namun juga tidak mati rasa. Titik itu disebut sebagai bersedia—dan itulah yang akan kita jelajahi pada bab berikutnya.
Jalan Tengah yang Membebaskan – Bersedia Tanpa Memaksa
Di antara keinginan untuk berjalan menuju petunjuk dan kesadaran bahwa semuanya tetap tergantung pada kehendak Tuhan, muncul sebuah ruang kosong yang sering terabaikan: titik tengah.
Bukan di ujung kehendak pribadi, dan bukan pula di ujung pasrah tanpa daya.
Titik itu bernama: bersedia.
Bersedia bukan konsep yang ramai dibicarakan dalam buku motivasi atau forum spiritual populer. Ia tidak menjanjikan hasil, tidak menjual solusi instan. Tapi justru karena itulah ia berharga. Dalam kondisi bersedia, kita tidak lagi bernegosiasi dengan Tuhan. Kita tidak berkata, “aku ingin ini, maka beri aku itu.” Tapi juga tidak menyerah lesu seolah segalanya tak penting.
Bersedia adalah kondisi batin yang terbuka.
Ia tidak memaksa arah, tapi juga tidak mengunci pintu. Ia siap menjalani apa pun yang hadir, karena percaya bahwa Tuhan lebih tahu mana jalan terbaik—meski sering kali tidak nyaman, tidak sesuai rencana, bahkan tidak bisa dijelaskan.
Dalam tradisi tasawuf, kondisi ini sering disamakan dengan fana’, yaitu melepaskan rasa memiliki atas kehendak itu sendiri. Bukan berarti tidak punya keinginan, tapi tidak lagi melekat pada keinginan itu. Seperti perahu yang tetap punya layar, tapi tidak mengatur arah angin. Ia hanya mengatur kesiapan, bukan tujuan.
Kita tidak sedang diminta menjadi robot tanpa inisiatif, tapi justru diajak untuk hidup sepenuhnya dalam keheningan batin. Karena di situlah letak kunci surrender: bukan berhenti bergerak, tapi berhenti mengklaim bahwa gerak itu sepenuhnya milik kita.
Bersedia adalah kemerdekaan.
Ketika kita tidak lagi terikat pada hasil, tidak lagi tercekik oleh rencana, dan cukup terbuka untuk menampung apa pun yang dikehendaki Tuhan. Di situlah, paradoks kehendak mulai larut. Bukan karena kita menemukan jawabannya, tapi karena kita tidak lagi merasa harus punya jawabannya.
Sistem Spiritual dan Hukum Ilahi – Mengapa Hidayah Tidak Acak
Salah satu kesalahpahaman umum dalam memahami kehendak Tuhan adalah anggapan bahwa hidayah adalah hadiah yang diberikan secara acak. Seolah-olah Tuhan memilih siapa yang akan dibimbing berdasarkan selera atau keberuntungan. Padahal, dalam sistem spiritual yang adil dan teratur, tidak ada yang benar-benar acak.
Tuhan bukan pemberi hadiah yang impulsif, tapi penyusun sistem yang sempurna.
Layaknya alam semesta yang bekerja dengan hukum gravitasi dan rotasi, alam ruhani pun tunduk pada hukum-hukum ilahi yang presisi. Hidayah bukan soal suka atau tidak suka, tetapi soal kesiapan dan kesesuaian frekuensi.
Bayangkan seseorang yang ingin masuk ke sebuah negara. Ia tidak bisa sekadar berharap diloloskan tanpa paspor, tiket, atau izin. Ada syarat administratif, ada sistem yang berlaku. Begitu juga dalam perjalanan spiritual:
Jika kamu membawa paspor keikhlasan, tiket niat tulus, dan visa kesungguhan, maka jalan akan terbuka.
Dan ini bukan soal layak atau tidak layak secara moral. Ini soal terhubung atau tidak terhubung dengan sistem-Nya. Ketika seseorang bersedia, membuka diri, merendahkan ego, dan hidup dengan kejujuran batin—maka secara hukum spiritual, ia telah memenuhi prasyarat untuk mendapatkan petunjuk.
Di sinilah letak keadilan Tuhan:
Siapa pun yang membuka dirinya, akan menerima. Bukan karena ia istimewa, tapi karena ia sejalan dengan hukum kasih-Nya.
Ini sekaligus menjadi harapan bagi siapa pun yang merasa telah terlalu jauh, terlalu kotor, terlalu “tidak pantas.” Dalam sistem Tuhan, tidak ada blacklist permanen. Yang ada hanya kesiapan untuk kembali—dan kemauan untuk bersedia menerima petunjuk yang mungkin datang dengan bentuk tak terduga.
Qur’an dalam Tiga Dimensi – Dari Mushaf ke Realitas
Sering kali kita memperlakukan Al-Qur’an hanya sebagai kitab bacaan—dibaca, dihafal, bahkan dikhatamkan berulang kali. Tapi adakah kita benar-benar mengalaminya?
Dalam ngaji pagi itu, dijelaskan bahwa Qur’an sejati bukan sekadar mushaf yang diletakkan di rak tertinggi, tapi sistem petunjuk tiga dimensi yang hidup dan berdenyut dalam kesadaran:
-
Qur’an sebagai teks (mushaf)
Inilah bentuk fisiknya—tulisan, lafaz, dan susunan ayat yang bisa dibaca dengan mata dan suara. Di sinilah banyak orang berhenti: pada ritual membaca, bukan pada pengalaman memaknai. -
Qur’an sebagai kesadaran (hati)
Ini adalah tahap di mana ayat-ayat Qur’an tidak lagi sekadar dibaca, tetapi dihayati dan diresapi dalam jiwa. Di sinilah seseorang mulai mengenali bahwa setiap ayat punya resonansi dalam perasaan dan peristiwa hidup. -
Qur’an sebagai semesta (realitas)
Ini adalah pemahaman terdalam: bahwa seluruh kehidupan ini adalah “tampilan” dari kalimat-kalimat Tuhan. Realitas bukan sekadar kejadian, tapi manifestasi langsung dari firman-Nya.
Ketika ketiganya—teks, hati, dan realitas—tersambung dalam satu kesadaran utuh, maka kalimat “shadaqallahul ‘azim” bukan lagi sekadar penutup bacaan. Ia berubah menjadi pernyataan eksistensial: bahwa semua ini nyata, bahwa ayat-ayat Tuhan hidup, dan bahwa tidak ada satu pun peristiwa yang keluar dari kehendak-Nya.
Sebagaimana firman-Nya:
“Seandainya seluruh lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhan, niscaya akan habis lautan itu sebelum selesai menulisnya.”(QS. Al-Kahfi: 109 & Luqman: 27)
Ayat ini tidak hanya mengingatkan keluasan firman Tuhan, tapi juga mengisyaratkan bahwa petunjuk-Nya hadir dalam bentuk tak terbatas—melampaui kata, menembus dimensi.
Qur’an bukan hanya kitab untuk dibaca, tapi realitas untuk dijalani. Dan semakin kita bersedia, semakin terang ayat-ayat-Nya muncul—di dalam hati, di dalam peristiwa, dan di dalam diri kita sendiri.
Titik Wustho – Diam Tanpa Mati
Di tengah gelombang kehendak, usaha, dan keinginan untuk memahami kehendak Tuhan, ada satu titik sunyi yang tak banyak disentuh: titik wustho—titik tengah.
Bukan puncak kegigihan, bukan dasar keputusasaan, melainkan ruang di mana diam menjadi bentuk tertinggi dari kesiapan batin.
Sering kali kita memahami diam sebagai pasif, menyerah, atau berhenti. Padahal, dalam jalan spiritual, diam bisa menjadi bentuk kedewasaan tertinggi.
Diam bukan berarti mati rasa, tapi menunda reaksi agar ruang hati cukup luas untuk meresapi petunjuk yang halus. Di titik ini, kita tidak lagi terjebak antara mengejar atau menghindar. Kita cukup... hadir.
Titik wustho adalah ruang ketika kita tidak memaksakan kehendak pribadi, tetapi juga tidak membiarkan hidup mengalir tanpa kesadaran.
Kita tetap hidup, tetap bergerak, tetap berinteraksi dengan dunia—tapi tanpa kecemasan untuk “mengendalikan” segalanya. Kita mulai belajar bertanggung jawab tanpa memiliki, berbuat tanpa melekat, dan mendoakan tanpa menuntut.
Dalam keheningan ini, kita menyadari bahwa Tuhan tidak memerlukan suara kita untuk mendengar, tidak butuh kata-kata kita untuk memahami. Yang Dia butuhkan hanyalah hati yang bersedia.
Seperti tanah yang menerima hujan, ia tidak bicara, tapi menyerap.Seperti langit yang terbuka, ia tidak menuntut, tapi menerima cahaya.
Titik wustho adalah titik di mana ego berhenti bicara dan jiwa mulai mendengar.
Ia bukan tempat yang bisa dicapai dengan logika atau paksaan. Ia hanya muncul ketika kehendak kita tidak lagi berdiri di depan kehendak-Nya.
Dan barangkali, di titik itulah surrender menjadi nyata. Bukan dalam kalimat, tapi dalam keadaan.
Diam yang tidak mati—tapi hidup dalam keheningan yang penuh cahaya.
Bersedia: Antara Tidak Menuntut dan Tidak Menolak
Dalam perjalanan ini, kita belajar bahwa surrender bukan tentang melepas usaha, melainkan melepas kepemilikan atas hasil.
Kita tetap melangkah, tetap berdoa, tetap bekerja keras—namun tanpa menggenggam hasilnya seolah-olah itu hak mutlak kita.
Di saat yang sama, kita juga tidak menolak apa yang datang, meski tak sesuai rencana. Karena di balik ketidaksesuaian itu, seringkali tersembunyi pelatihan batin paling lembut dari Tuhan.
Bersedia menjadi sikap hidup yang tenang, namun tidak mati.
Ia memberi ruang bagi kehendak Tuhan untuk bekerja, tanpa kita perlu mendorong atau mengarahkan-Nya. Kita berhenti menuntut, tapi juga tidak abai. Kita berhenti menolak, tapi juga tidak pasrah buta.
Kita cukup bersedia untuk hadir sepenuhnya—dalam suka dan duka, dalam terang dan gelap, dalam jalan yang mudah maupun berliku.
Dalam kebersediaan itulah, kita tidak kehilangan diri, tapi justru menemukan siapa kita di hadapan-Nya.
Bahwa kita bukan pemilik, bukan pengendali, tapi tamu yang diberi hak untuk ikut menari dalam tarian semesta-Nya.
“Tinggallah di titik tengah: bersedia.”Bukan karena kita tahu segalanya, tapi karena kita tahu Dialah segalanya.
Sumber Referensi:
Comments
Post a Comment